Sabtu, 23 Mei 2009

Ambruknya Sistem Keuangan Global



Kabar bangkrutnya salah satu bank investasi terbesar di dunia, Lehman Brothers, akibat krisis kredit perumahan di Amerika Serikat membuat bursa saham global terguncang pada perdagangan Senin 15 September waktu setempat. Pelaku pasar khawatir kebangkrutan lehman Brothers akan mengancam sistem keuangan global. Bursa saham Eropa melemah hingga 5 persen pada perdagangan siang hari. Di london, harga saham grup perbankan HBOS jatuh hingga 20,2 persen. Di Jerman, Commerrzbank anjlok 11,7 persen dan Deutsche Bank jatuh 8,24 persen. Dow Jones Industrial Average (DJIA) tumbang 2,53 persen beberapa saat setelah pembukaan pasar.

Di Indonesia, 8 Oktober jam 11.05 WIB Bursa Efek Indonesia melakukan suspend, penutupan transaksi di lantai bursa. Sebuah langkah yang belum pernah terjadi dalam sejarah lantai bursa di Indonesia, setelah Rusia sebelumnya juga melakukan hal yang sama. IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) anjlok ke 10,38 persen. Suspend dilakukan untuk menghindari terus-menerus anjloknya harga saham karena aksi jual yang terus dilakukan investor.

Kebangkrutan Lehman Brothers

Bank investasi raksasa Lehman Brothers telah menjadi korban berikutnya dari krisis kredit macet di AS. Kejadian ini mengejutkan lantaran belum lama ini Pemerintah AS terpaksa mengambil alih raksasa pembiayaan perumahan Fannie Mae dan Freddie Mac untuk memperbaiki sistem finansial perumahan di negeri itu.

Kini, giliran bank investasi Lehman Brothers yang menjadi korban. Dalam penjelasannya, bank yang sudah berusia 158 tahun itu mengajukan kebangkrutan demi melindungi aset dan memaksimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham. Kebangkrutan ini adalah yang terbesar dalam sejarah AS. Lehman Brothers mencatat kerugian sekitar USD 3,9 miliar pada triwulan III/2008 menyusul beberapa kejadian penghapusan buku pada aset kredit perumahan yang dipegang perusahaan itu.

Aset piutang berbasis kredit tersebut terpaksa dihapuskan dari laporan keuangan karena gagal ditagih akibat memburuknya kredit macet. Bank investasi terbesar keempat AS ini menyampaikan formulir kebangkrutan kepada United States Bankruptcy Court for the Southern District of New York pada Senin (15/9) waktu setempat.

Pengumuman kebangkrutan itu muncul stelah lehman Brothers gagal mendapatkan pembeli sebagai investor baru. Keputusan ini sekaligus menjadi akhir dramatis dari pertemuan tiga hari berturu-turut yang digelar para bankir, Bank Sentral AS, dan Departemen Keuangan AS.

Pada perkembangannya, meski pemerintah AS telah mengambil langkah penyelamatan 700 miliar dollar dan George W.Bush telah menandatangani UU Bill Out, pasar tetap merespon negatif. Harga saham terus anjlok.

Bila harga saham terus merosot, kecenderungan orang Amerika untuk memegang uang tunai akan kian menggila. Konsumen akan mengempit uang kontan untuk berjaga-jaga dan mereka berhenti berbelanja. Impor Amerika dari negara-negara lain termasuk Indonesia pun akan terhenti. Alhasil, perekonomian akan mandek dan penciutan tenaga kerja akan terus meningkat. Ujung-ujungnya, daya beli penduduk pun akan kian terkikis. Perekonomian Amerika bisa terkena double deep, yakni keluar dari krisis masuk dalam krisis yang lain.

Rapuhnya Penopang Sistem Keuangan Kapitalisme (Pasar Modal & Pasar Uang):

1. Pasar Modal (Stock Exchange)

Sesungguhnya, skandal keuangan yang terjadi pada beberapa perusahaan besar Amerika merupakan pemicu keterpurukan bursa saham Amerika atas keroposnya sistem keuangan kapitalisme. Pertumbuhan keuangan ala kapitalisme (yang bertumpu pada transaksi spekulatif di sektor non-real) memang dapat meningkatkan pertumbuhan sektor non real dengan sangat pesat. Akan tetapi, ia akan menghadapi bahaya pertumbuhan itu sendiri, yakni bahaya ‘gelembung ekonomi’ (bubble economy). Ini ditandai dengan meningkatnya harga saham-saham dengan pesat hingga akhirnya harga saham kelewat mahal serta melebihi kapasitas dan kemampuannya berproduksi. Pada saat yang sama, para analis saham pun terus memberikan rekomendasi beli sehingga saham diburu dan harga terus menggelembung. Pada satu saat, penggelembungan itu akan mencapai titik jenuh. Ibarat balon yang terus ditiup sampai besar, ia kahirnya meletus.

Krisis yang Berulang

Perlu juga dicatat, krisis yang terjadi sekarang merupakan krisis yang berulang. Pada minggu terakhir Oktober 1997, harga-harga saham di bursa-bursa saham utama dunia jatuh berguguran; berawal di Hongkong, lalu merembet ke Jepang, Eropa, dan akhirnya mendarat di Amerika. Anjloknya harga saham tersebut teradi secara berurutan dari satu negeri ke negeri lainnya.

Tragedi serupa terjadi pada bulan dan tahun yang sama, yakni ketika indeks harga saham di New York turun 22% dalam sehari. Indeks utama saham-saham industri Dow Jones jatuh ke titik terendah setelah Worldcom -perusahaan telekomunikasi kedua terbesar di AS- mengajukan proteksi kepailitan ke pengadilan. Disusul kebangkrutan perusahaan energi, Enron, Desember 2001. Lebih ke belakang lagi, peristiwa serupa pernah terjadi pula pada tahun 1929. ketika itu, jatuhnya nilai saham di Amerika telah menimbulkan depresi ekonomi yang sangat parah sehingga menimbulkan kemelaratan, kelaparan, dan kesengsaraan yang berkelanjutan. Akhirnya, Presiden Roosevelt memutuskan untuk melibatkan Amerika dalam kancah Perang Dunia II dalam rangka membangkitkan Amerika dengan cara memproduksi kebutuhan-kebutuhan perang yang sangat besar.

2. Pasar Uang (Money Market)

Terjebak di Sektor Non-real

Krisis yang terjadi di bursa saham di atas, telah cukup menggambarkan bahwa sistem keuangan ekonomi yang ditopang kuat oleh sektor non-real yang sangat kental dengan bisnis spekulatif sama sekali tidak mendukung terhadap pertumbuhan ekonomi di sektor real.

Sebagaimana diketahui, sistem Pasar Modal tidak akan berfungsi dan berkembang tanpa adanya dukungan sistem-sistem pokok perekonomian lainnya seperti Perseroan terbatas (PT), sistem perbankan ribawi, dan sistem uang kertas inconvertible. Ketiga sistem tresbut secara sinergis membagi perekonomian kapitalisme menjadi dua sektor: (1) sektor real, yang diadalamnya terdapat aspek produksi serta pemasaran barang dan jasa sewcara real; (2) sektor ekonomi modal/kapital, yang oleh kebanyakan orang disebut sektor non real, yang didalamnya terdapat aspek penerbitan dan jual beli surat-surat berharga yang beraneka ragam.

Saat ini, perdagangan di sektor non real ini telah sedemikian jauhnya, sehingga nilai transaksinya berlipat ganda melebihi nilai sektor real. Hampir semua negara di dunia ini terjangkit bisnis spekulatif seperti perdagangan surat berharga/utang di bursa saham (stock exchange) berupa saham, obligasi (bonds), commercial paper, promissory notes dsb; perdagangan uang di pasar uang (money market); serta perdagangan derivatif di bursa berjangka.

Mengapa sektor nonreal ini bergerak dengan sangat cepat bisa ditelusuri sejak awal tahun 1980. Dalam rangka meningkatkan kapasitas permodalan, perusahaan-perusahaan multinasional di Amerika mulai memanfaatkan dana-dana menganggur yang berada di lembaga-lembaga dana pensiun, asuransi, dsb; juga memburu dana murah di pasar modal atau bermain valuta asing di pasar uang. Cara ini kemudian menjalar ke negara-negera industri lainnya di Eropa dan Jepang, kemudian ke negara-negara industri baru seperti Singapura, Hongkong, dsb hingga terus bergulir ke semua negara sampai ke level perusahaan. Tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan arus moneter yang luar biasa dahsyatnya tanpa diimbangi oleh peningkatan arus barang dan jasa.

Data menunjukkan bahwa realitas perdagangan uang (sektor non real) dunia telah berlipat sekitar 80 kali dibandingkan dengan sektor real. Hal ini merupakan fenomena “keterkaitan” antara sebagian besar perputaran uang dengan arus barang dan jasa. Ini berarti telah terjadi secara global apa yang disebut bubble economy (gelembung balon ekonomi), karena kegiatan ekonomi dunia didominasi oleh kegiatan sektor non real yang spekulatif. Dalam satu hari saja sudah sekitar 1-2 triliun dollar AS dana spekulasi tersebut gentayangan mencari tempat yang paling menguntungkan di dunia. Dalam hitungan setahun, arus uang berjumlah sekitar 700 triliun dollar AS dalam bentuk stock of financial assets seperti company stocks, derifatives, dan government bonds, commercial paper, dsb.

Sementara itu, hanya sekitar 7 triliun saja nilai arus barang dan jasa yang diperdagangkan atau hanya seperseratusnya.Sektor non real berlipat kali lebih besar daripada nilai total barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh aktifitas ekonomi negeri-negeri kapitalis maju. Ini kemudian melahirkan raksasa-raksasa financial Amerika sebagai transnational company seperti the Rockefellers, Mellons, Morgans, DuPonts, Whitneys, Warbrugs, Vanderbilts, Goldman Sach, Lehman Brothers, dan masih banyak lagi. Mereka bukan saja menguasai bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, namun juga perusahaan-perusahaan industri; tidak saja di Amerika, tetapi juga di dunia.

Dari sini sekaligus kita dapat mengetahui betapa timpangnya perbandingan sektor non real dan sektor real, jauh dari harapan ekspektasi pertumbuhan ekonomi; betapa pula pertumbuhan ekonomi versi kapitalisme hanya merupakan pertumbuhan semu, bukan pertumbuhan sebenarnya.

Lebih runyam lagi, dengan desakan globalisasi dan liberalisasi yang kita terima secara taken for granted itu, pemanfaatan dana-dana untuk spekulasi dalam kegiatan pasar modal dan uang semakin intensif. Dengan begitu, semakin terbuka sektor moneternya (pasar uang dan pasar modal) suatu negara, akan semakin tinggi resiko perekonomiannya terhadap segala gejolak ekonomi eksternal. Inilah yang terjadi di Indonesia. Dampak yang tidak menguntungkan dari kondisi tersbut adalah ketergantungan ekonomi negara-negara berkembang terhadap permainan pihak asing. Kondisi ini diperparah oleh ketentuan-ketentuan WTO yang telah menjerumuskan negara-negara berkembang ke dalam situasi ketergantungan pada kekuatan ekonomi asing.

Bersamaan dengan itu, maraknya fenomena kegiatan ekonomi dan bisnis spekulatif (terutama di dunia pasar modal, pasar valuta asing) membuat dunia dibayangi hantu bubble economy, yaitu gelembung ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya -namun tak diimbangi oleh sektor real, bahkan sektor real amat jauh ketinggalan- sehingga sewaktu-waktu akan meletus.

Dengan demikian, kita dapat membayangkan rapuhnya jaringan keuangan dan perdagangan sistem kapitalisme yang saat ini telah menggurita di seluruh dunia. Dasar-dasar sistem keuangan dan perdagangannya lebih banyak dipenuhi oleh angan-angan dan khayalan. Ini terbukti dengan makin menggelembungnya sektor non real ratusan kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor real. Jaringan keuangan dan perdagangan mereka bagaikan jaring laba-laba, sangat rapuh dan kehancurannya adalah sesuatu yang niscaya tinggal menunggu waktu.

Ambruknya sistem keuangan global yang kesekian kalinya ini, akan menjadi salah satu catatan sejarah dalam peristiwa peralihan pemegang peradaban dunia, dari kapitalisme ke Islam, Insya Allah.

Sistem Ekonomi Islam: Hanya Berbasis pada Sektor Real

Dalam kehidupan ekonomi Islam, setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar, majhul, dharar, mengandung penipuan, dan yang sejenisnya. Unsur-unsur tersebut diatas, sebagian besarnya tergolong aktifitas-aktifitas non real. Sebagian lainnya mengandung ketidakjelasan pemilikan. Sisanya mengandung kemungkina munculnya perselisihan. Islam telah meletakkan transaksi antar dua pihak sebagai sesuatu yang menguntungkan keduanya; memperoleh manfaat yang real dengan memberikan kompensasi yang juga bersifat real. Transaksinya bersifat jelas, transparan, dan bermanfaat. Karena itu, dalam transaksi perdagangan dan keuangan, apapun bentuknya, aspek-aspek non real dicela dan dicampakkan. Sedangkan sektor real memperoleh dorongan, perlindungan, dan pujian.

Hal itu tampak dalam instrumen-instumen ekonomi berikut:

1. Islam telah menjadikan standar mata uang berbasis pada sistem dua logam, yaitu emas dan perak. Sejak masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan, mata uang Islam telah dicetak dan diterbitkan (tahun 77 H). Artinya, nilai nominal yang tercantum pada mata uang benar-benar dijamin secara real dengan zat uang tersebut.

2. Islam telah mengharamkan aktifitas riba, apapun jenisnya; melaknat/mencela para pelakunya. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman” QS Al Baqarah 278. Berdasarkan hal ini, transaksi riba yang tampak dalam sistem keuangan dan perbankan konvensional (dengan adanya bunga bank), seluruhnya diharamkan secara pasti; termasuk transaksi-transaksi derivative yang biasa terjadi di pasar-pasar uang maupun pasar-pasar bursa. Penggelembungan harga saham maupun uang adalah tindakan riba.

3. Transaksi spekulatif, kotor, dan menjijikkan, nyata-nyata diharamkan oleh Allah SWT, sebagaimana firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minum khamr, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan” (QS Al maidah 90).

4. Transaksi perdagangan maupun keuangan yang mengandung dharar/bahaya (kemadaratan), baik bagi individu maupun bagi masyarakat, harus dihentikan dan dibuang jauh-jauh.

5. Islam melarang Al-Ghasy, yaitu transaksi yang mengandung penipuan, pengkhianatan, rekayasa, dan manipulasi.

6. Islam melarang transaksi perdagangan maupun keuangan yang belum memenuhi syarat-syarat keuangan yang belum sempurnanya kepemilikan seperti yang biasa dilakukan dalam future trading.

Seluruh jenis transaksi yang dilarang oleh Allah SWT dan Rasul-Nya ini tergolong ke dalam transaksi-transaksi non real atau dzalim yang dapat mengakibatkan dharar/bahaya bagi masyarakat dan negara, memunculkan high cost dalam ekonomi, serta bermuara pada bencana dan kesengasaraan pada umat manusia. Sifat-sifat tersebut melekat dalam sistem ekonomi kapitalis dengan berbagai jenis transaksinya. Konsekuensi bagi negara dan masyarakat yang menganut atau tunduk dan membebek pada sistem ekonomi kapitalis yang dipaksakan oleh negara-negara Barat adalah kehancuran ekonomi dan kesengsaraan hidup.

Sayangnya, para penguasa negeri-negeri Muslim saat ini lebih suka mengekor di belakang sistem kapitalis Barat yang terbukti mengengsarakan dan rusak. Karena itu, sistem ekonomi Islam yang berbasis pada sektor real hanya mampu dilakukan oleh negara yang berani menghadapi sistem ekonomi kapitalis. Tak sekedar menjalankan sistem ekonomi, namun ditopang juga oleh sistem politik yang kuat. Hal itu dapat dijalankan hanya dengan mewujudkan terlebih dulu Negara Khilafah Islamiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar